Nama; Mariana
Fitria
NPM; 14211298
Kelas; 2EA13
TUGAS SOFTSKILL
KEWARGANEGARAAN 2
Pengertian Dan Sejarah HAM di Indonesia
Definisi Hak Asasi Manusia (HAM)
HAM / Hak Asasi
Manusia adalah hak yang melekat pada diri setiap manusia sejak awal dilahirkan
yang berlaku seumur hidup dan tidak dapat diganggu gugat siapa pun. Sebagai
warga negara yang baik kita mesti menjunjung tinggi nilai hak azasi manusia
tanpa membeda-bedakan status, golongan, keturunan, jabatan, dan lain
sebagainya.
Melanggar HAM seseorang bertentangan dengan hukum yang berlaku di Indonesia. Hak asasi manusia memiliki wadah organisasi yang mengurus permasalahan seputar hak asasi manusia yaitu Komnas HAM.
Melanggar HAM seseorang bertentangan dengan hukum yang berlaku di Indonesia. Hak asasi manusia memiliki wadah organisasi yang mengurus permasalahan seputar hak asasi manusia yaitu Komnas HAM.
Di Indonesia, wacana hak asasi manusia
bukanlah wacana yang asing dalam diskursus politik dan ketatanegaraan bangsa
ini. Kita bisa menemuinya dengan gamblang dalam
perjalanan sejarah pembentukkan bangsa ini, di mana perbincangan mengenai hak
asasi manusia menjadi bagian daripadanya.
Jauh sebelum kemerdekaan, para perintis
bangsa ini telah memercikkan pikiran-pikiran untuk memperjuangkan harkat dan
martabat manusia yang lebih baik. Percikan pikiran tersebut dapat dibaca dalam
surat-surat R.A. Kartini yang berjudul “Habis Gelap Terbitlah Terang”,
karangan-karangan politik yang ditulis oleh H.O.S. Cokroaminoto, Agus Salim,
Douwes Dekker, Soewardi Soeryaningrat, petisi yang dibuat oleh Sutardjo di
Volksraad atau pledoi Soekarno yang berjudul ”Indonesia Menggugat” dan
Hatta dengan judul ”Indonesia Merdeka” yang dibacakan di depan
pengadilan Hindia Belanda. Percikan-percikan pemikiran
pada masa pergerakan kemerdekaan itu, yang terkristalisasi dengan kemerdekaan
Indonesia, menjadi sumber inspirasi ketika konstitusi mulai diperdebatkan di
Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Di sinilah terlihat bahwa para pendiri bangsa ini
sudah menyadari pentingnya hak asasi manusia sebagai fondasi bagi negara.
Sama halnya dengan negara berkembang
yang lain, hak asasi menjadi topik pembicaraan di Indonesia. Pembicaraan ini
dilakukan menjelang perumusan Undang-Undang Dasar 1945, masa Orde Baru dan
Reformasi. Pada waktu rancangan naskah UUD dibicarakan, ada perbedaan pendapat
mengenai peran hak asasi dalam negara demokratis. Banyak
kalangan berpendapat bahwa Declaration des Droits de I’Homme et du Citoyen
(1789) berdasarkan individualism dan liberalism,
dank arena itu bertentangan dengan asas kekeluargaan dan gotong royong.
Mengenai hal ini Ir. Soekarno menyatakan : “jikalau kita betul-betul hendak
mendasarkan negara kita kepada paham kekeluargaan, paham tolong-menolong, paham
gotong royong, dan keadilan social, enyahkanlah tiap-tiap pikiran, tiap paham
individualisme dan liberalism daipadanya.”
Di pihak lain, Drs. Moh. Hatta mengatakan
bahwa walaupun yang dibentuk negara kekeluargaan, namun perlu ditetapkan
beberapa hak warga negara agar jangan timbul negara kekuasaan (Machtsstaat). Maka pada akhirnya tercapai kesepakatan bahwa hak
asasi dimasukkan dalam UUD 1945, tetapi dalam jumlah terbatas. Perdebatan
tersebut tidak berakhir begitu saja. Diskursus mengenai hak asasi manusia
muncul kembali sebagai usaha untuk mengoreksi kelemahan dalam Undang-Undang
Dasar 1945 pada sidang Konstituante (1957-1959). Sebagaimana
terekam dalam Risalah Konstituente, khususnya dari Komisi Hak Asasi Manusia,
perdebatan di sini jauh lebih sengit dibanding dengan perdebatan di BPUPKI.
Berbeda dengan perdebatan awal di BPUPKI, diskusi di Konstituante relatif lebih
menerima hak asasi manusia dalam pengertian natural rights, dan
menganggapnya sebagai substansi Undang-Undang Dasar. Meskipun
ada yang melihat dari perspektif agama atau budaya, perdebatan di Konstituante
sebetulnya telah berhasil menyepakati 24 hak asasi manusia yang akan disusun
dalam satu bab pada konstitusi. Namun konstituante
dibubarkan oleh Soekarno, sehingga kesepakatan-keseakatan yang dicapai urung
dilakukan, termasuk mengenai Hak Asasi Manusia.
Setelah rezim Demokrasi Terpimpin
Soekarno digulingkan oleh gerakan mahasiswa 1966, maka lahirlah rezim Orde Baru
yang juga memunculkan kembali perdebatan mengenai perlindungan
konstitusionalitas hak asasi manusia. Perdebatan itu muncul pada Sidang Umum
MPRS tahun 1968 di awal Orde Baru. MPRS ketika itu telah membentuk Panitia Ad
Hoc Penyusunan Hak-Hak Asasi Manusia. Hasilnya
adalah sebuah “Rancangan Keputusan MPRS tentang Piagam Hak-Hak Asasi Manusia
dan Hak-hak serta Kewajiban Warga Negara”. Tetapi sayang sekali rancangan
tersebut tidak berhasil diajukan ke Sidang Umum MPRS untuk disahkan sebagai
ketetapan MPRS. Alasannya terutama diajukan oleh
fraksi Karya Pembangunan dan ABRI, akan lebih tepat jika Piagam yang penting
itu disiapkan oleh MPR hasil pemilu, bukan oleh MPR(S) yang bersifat
“sementara”. Kenyataannya, setelah MPR hasil pemilu (1971) terbentuk, Rancangan
Piagam Hak Asasi Manusia itu tidak pernah diajukan lagi.Fraksi
Karya Pembangunan dan fraksi ABRI tidak pernah mengingat lagi apa yang pernah
mereka putuskan pada Sidang Umum MPRS tahun 1968 tersebut. Sampai akhirnya
datang gelombang besar “Reformasi”, yang melengserkan Soeharto dari kursi
Presiden Indonesia (Mei, 1998) dan membuka babak baru wacana hak asasi manusia
di Indonesia
HAK ASASI MANUSIA DALAM AMANDEMEN UUD 1945
Sebenarnya secara spesifik amandemen UUD
1945 tentang HAM telah tertuang dalam pasal 28 yang diajukan pada masa
amandemen yang kedua 18 Agustus 2000 dengan menambahkan satu bab khusus, yaitu
Bab X-A tentang Hak Asasi Manusia mulai Pasal 28 A sampai dengan 28 J. Sebagian
besar isi perubahan tersebut mengatur hak-hak sipil dan politik, hak-hak ekonomi,
sosial dan budaya.
Adapun hak asasi manusia yang ditetapkan dalam
Bab X A UUD 1945 adalah :
• Hak untuk hidup dan mempertahankan
hidup dan kehidupannya (Pasal 28 A)
• Hak untuk membentuk keluarga dan
melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah (Pasal 28 B Ayat 1)
• Hak anak untuk kelangsungan hidup,
tumbuh, dan berkembang serta hak atas perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi (Pasal 28 B Ayat 2)
• Hak untuk mengembangkan diri melalui
pemenuhan kebutuhan dasar (Pasal 28 C Ayat 1)
• Hak untuk mendapatkan pendidikan dan
memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni, dan budaya (Pasal
28 C Ayat 1)
• Hak untuk mengajukan diri dalam
memperjuangkan haknya secara kolektif (Pasal 28 C Ayat 2)
• Hak atas pengakuan, jaminan
perlindungan dan kepastian hukum yang adil dan perlakuan yang sama di depan
hukum (Pasal 28 D Ayat 1)
• Hak untuk bekerja dan mendapat imbalan
serta perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja (Pasal 28 D Ayat 3)
• Hak untuk memperoleh kesempatan yang
sama dalam pemerintahan (Pasal 28 D Ayat 3)
• Hak atas status kewarganegaraan (Pasal
28 D Ayat 4)
• Hak kebebasan untuk memeluk agama dan
beribadah menurut agamanya (Pasal 28 E ayat 1)
• Hak memilih pekerjaan (Pasal 28 E Ayat
1)
• Hak memilih kewarganegaraan (Pasal 28
E Ayat 1)
• Hak memilih tempat tinggal di wilayah
negara dan meninggalkannya, serta berhak untuk kembali (Pasal 28 E Ayat 1)
• Hak kebebasan untuk meyakini
kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai hati nuraninya (Pasal 28 E
Ayat 2)
• Hak kebebasan untuk berserikat,
berkumpul dan mengeluarkan pendapat (Pasal 28 E ayat 3)
• Hak untuk berkomunikasi dan
memeperoleh informasi (Pasal 28 F)
• Hak atas perlindungan diri pribadi,
keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda (Pasal 28 G Ayat 1)
• Hak atas rasa aman dan perlindungan
dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan
hak asasi manusia (Pasal 28 G Ayat 1)
• Hak untuk bebeas dari penyiksaan
(torture) dan perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia (Pasal 28 G
Ayat 2)
• Hak untuk hidup sejahtera lahir dan
batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat
(Pasal 28 H Ayat 1)
• Hak untuk memperoleh pelayanan
kesehatan (Pasal 28 H Ayat 1)
• Hak untuk mendapat kemudahan dan
perlakuan khusus guna mencapai persamaan dan keadilan (Pasal 28 H Ayat 2)
• Hak atas jaminan sosial (Pasal 28 H
Ayat 3)
• Hak atas milik pribadi yang tidak
boleh diambil alih sewenang-wenang oleh siapa pun (Pasal 28 H Ayat 4)
• Hak untuk tidak dituntut atas dasar
hukum yang berlaku surut (retroaktif) (Pasal 28 I Ayat 1)
• Hak untuk bebas dari perlakuan
diskriminasi atas dasar apa pun dan berhak mendapat perlindungan dari perlakuan
diskriminatif (Pasal 28 I Ayat 2)
• Hak atas identitas budaya dan hak masyarakat
tradisional (Pasal 28 I Ayat 3)
Sehubungan dengan substansi peraturan
perundang-undangan, maka ada dua hal yang harus diperhatikan oleh pembentuk
peraturan perundang-undangan. Pertama; pengaturan yang membatasi HAM hanya
dapat dilakukan dengan undang-undang dan terbatas yang diperkenankan sesuai
ketentuan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945. Karena itu, Peraturan Pemerintah,
Peraturan Presiden dan seterusnya pada tingkat bawah tidak dapat membatasi HAM.
Kedua; substansi peraturan perundang-undangan harus selalu sesuai dengan
ketentuan-ketentuan HAM yang ada dalam UUD 1945.
Pelanggaran terhadap salah satu saja
dari kedua aspek tersebut dapat menjadi alasan bagi seseorang, badan hukum atau
masyarakat hukum adat untuk menyampaikan permohonan pengujian terhadap
undang-undang tersebut kepada Mahkamah Konstitusi dan jika bertentangan dengan
UUD dapat saja undang-undang tersebut sebahagian atau seluruh dinyatakan tidak
berkekuatan mengikat. Jadi mekanisme kontrol terhadap kekuasaan negara
pembentuk undang-undang dilakukan oleh rakyat melalui Mahkamah Konstitusi.
Dengan proses yang demikian menjadikan UUD kita menjadi UUD yang hidup, dinamis
dan memiliki nilai praktikal yang mengawal perjalanan bangsa yang demokratis
dan menghormati HAM. Namun, penegakan HAM tidak akan terwujud hanya dengan
mencantumkannya dalam konstitusi. Semua pihak berkewajiban
mengimplementasikannya dalam seluruh aspek kehidupan. Kita menyadari penegakan
HAM tidak seperti membalik telapak tangan. Ia harus diawali dari level paling
rendah, yaitu diri sendiri.
PENEGAKAN HUKUM DI INDONESIA
Penegak hukum di Indonesia yang mash
terbilang lemah dan tidak tegas itu dapat kita lihat dari kasus-kasus seperti
kasus lalulintas, persidangan san yang sering kita lihat di acara-acaran berita
televisi. Begitu miris kita melihatnya dari kesaksian maupun dari pihak penegak
hukum yang sepertinya pura-pura tidak tahu menahu tentang kebohongan yang para
pelaku katakana. Tidak malukah penegak hukum kita dengan kejadian tersebut,
padahal mereka sadar hukum dan di sumpah untuk berlaku jujur dalam menjalankan tugas
mereka didalam menegakkan hukum di Indonesia.
Kasus
pelanggaran ham di Indonesia memang masih banyak yang belum terselesaikan /
tuntas sehingga diharapkan perkembangan dunia ham di Indonesia dapat terwujud
ke arah yang lebih baik. Salah satu tokoh ham di Indonesia adalah Munir yang
tewas dibunuh di atas pesawat udara saat menuju Belanda dari Indonesia.
Sebagai contoh selanjutnya, terjadi pada
lingkungan lalulintas. Pelanggaran lalulintas yang sering kita lihat di jalan
raya, para penegak hukum memberi sanksi kepada para pelanggar pengguna jalan
yang melanggar peraturan perlalulintasan. Seharusnya pengguna jalan tersebut di
hukum oleh pihak yang berwenang sehingga menimbulkan efek jera terhadap
pelanggar tetapi mereka dapat bernegosiasi diantara pelanggar dan penegak
hukum. Mereka yang melanggar dengan mudah mengeluarkan sejumlah uang yang telah
disepakati saat bernegosiasi itu berlangsung. Sehingga mereka dapat melanjutkan
perjalanan mereka tanpa harus mendapatkan perlakuan hukum. Dengan kejadian
tersebut dapat membuat peraturan yang sudah dibuat untuk menertibkan dan
membuat nyaman para pengguna jalan, membuat hukum Indonesia menjadi isapan
jempol belaka. Jadi percuma saja para petinggi Negara membuat atau selalu
merevisi hukum hanya untuk dilanggar dan hanya menjadi sebuah tulisan saja.
Tidak hanya contoh di atas saja yang
membuat kita mengetahui betapa lemahnya penegakan hukum di Indonesia. Sebagai
contoh selanjutnya adalah kasus korupsi yang sedang di perkarakan akhir-akhir
ini. Menangani kasus korupsi memang tidak semudah membalikan telapak tangan.
Tetapi walaupun sesulit apapun mengatasi masalah korupsi, tetap saja kita harus
tetap membasmi pelaku-pelaku korupsi karna hal tersebut sangat merugikan banyak
pihak khususnya rakyat Indonesia dan akan membuat masyarakat tidak mempercayai
lagi hukum dan penegak hukum di Indonesia. Jangan sampai masyarakat tidak lagi
mempunyai pegangan untuk hidup teratur dan sejahtera kalau hukum di negaranya
sudah tidak benar.
Dari semua contoh diatas
tidak sepenuhnya menjadi kesalahan pihak penegak hukum tapi masyarakat pada
umumnya pun juga dapat di persalahkan. Karna peraturan dibuat bukan untuk
penegak hukum semata tapi untuk masyarakat luas juga. Karna dalam hukum tidak
ada strata tapi semuanya adalah sama dimata hukum. Penegak hukum melakukan hal
tersebut mungkin karna ada kesempatan yang memancing mereka melakukan hal
tersebut. Untuk itu perbenahilah diri sendiri kita mulai sekarang. Karena
ketegakan hukum dapat terwujud dengan bagaimana kita memupuk keteratu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar